PanenTalks, Yogyakarta – Psikolog asal Yogyakarta Indria Laksmi Gamayanti menyoroti kasus predator seksual anak mengindikasikan kerentanan ganda pada remaja.
Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada menjelaskan, usia pra remaja hingga remaja, anak-anak sedang dalam masa pencarian identitas dan membutuhkan pengakuan serta perhatian.
“Ketika hal ini tidak terpenuhi dari lingkungan terdekat, mereka menjadi lebih mudah tergoda oleh bujuk rayu dan pujian dari lawan jenis,” terangnya, Kamis 22 Mei 2025.
Gamayanti menambahkan, kurangnya pemahaman anak terhadap risiko dunia digital menjadi celah besar bagi pelaku memanipulasi korban. Anak belum memahami potensi ancaman dan bersikap ketika berhadapan konten seksual atau ajakan mencurigakan.
Oleh karena itu, orang tua dan pendidik harus mampu mendeteksi tanda-tanda awal anak menjadi korban kekerasan seksual. Meski hal tersebut tidak selalu tampak jelas.
Ia menyebutkan, bisa mewaspadai tanda berupa perubahan perilaku mencolok dan penurunan prestasi akademik. Selain itu, mimpi buruk hingga mengigau, ketakutan berlebih terhadap sentuhan fisik hingga menarik diri dari lingkungan sosial.
“Respon orang tua menjadi krusial. Kalau langsung menyalahkan, anak akan makin tertutup dan merasa tidak aman,” kata dia.
Padahal, kata dia, anak butuh dukungan emosional untuk pulih. Di samping, pendampingan agar tidak berkembang menjadi gangguan psikologis.
Dampak jangka panjang dari kekerasan seksual pada anak bisa bervariasi. Mulai dari gangguan kecemasan, depresi, hingga kesulitan menjalin hubungan sosial sehat. Bahkan, trauma tidak tertangani dapat mempengaruhi perkembangan seksual korban. Kekhawatiran lain membentuk pola perilaku menyimpang di masa dewasa.
Gamayanti menekankan, pentingnya pendidikan seksualitas sejak dini dalam bentuk positif dan sesuai usia. Meliputi pengenalan bagian tubuh, batasan interaksi fisik, dan pemahaman tentang media digital. Komunikasi terbuka antara anak dan orang tua juga menjadi kunci pencegahan.
“Kita tidak bisa hanya mengedukasi anak, tetapi juga orang tua. Supaya saat anak menghadapi situasi berisiko, mereka tahu harus bersikap bagaimana, dan siapa yang bisa dipercaya,” pungkasnya. (*)
Editor : Hendrati Hapsari