PanenTalks, Bantul – Dua mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menggagas ide pupuk pemanfaatan dari hama padi. Arief Reksa Pambudi dan Aulia Fristi Ningsih memanfaatkan keong, menjadi pupuk organik cair (biofertilizer) dengan konsep circular agriculture. Gagasan ini lahir dari pengalaman Reksa yang sejak kecil tumbuh dalam keluarga petani.
Berkat ide tersebut, keduanya mengharumkan nama nama kampus di ajang Business Plan Competition Economic Management Creative. Dalam lomba yang berlangsung di Universitas Negeri Semarang (UNES) pada pertengahan Agustus lalu, Reksa dan Aulia menjadi juara. Mereka menyisihkan lebih dari 300 tim peserta dari seluruh Indonesia.
“Kami ingin mengubah masalah menjadi solusi. Dari hama yang merugikan petani, kami olah kembali menjadi pupuk yang bermanfaat bagi tanaman padi,” kata Reksa melalui Humas UMY pekan lalu.
Sebelum mengikuti lomba, keduanya telah aktif mengembangkan bisnis ini melalui program pendanaan P2MW Kemendikti Saintek. Mereka juga menjalin kerja sama dengan berbagai pihak. Mulai dari BPPSDMP Kementerian Pertanian, Desa Sejahtera Astra, kelompok tani, hingga Kelompok Wanita Tani (KWT). Dukungan ini menjadi bukti bahwa inovasi mereka tidak hanya sebatas ide, tetapi sudah melakukan uji coba langsung di lapangan.
Dari sisi keuangan, Aulia berperan merancang perhitungan bisnis yang matang.
“Investor lebih percaya jika produk punya proyeksi keuntungan yang jelas. Karena itu kami membuat analisis finansial lengkap mulai dari biaya produksi, margin, hingga ROI (Return on Investment). Tak ketinggalan juga NPV (Net Present Value), dan IRR (Internal Rate of Return). Sejak awal, kami ingin menunjukkan bahwa bisnis ini punya prospek jangka panjang,” jelasnya.
Perjalanan menuju kompetisi tidak mudah. Sejak akhir 2024, keduanya mulai menyusun konsep, lalu mengeksekusinya pada September. Mereka harus melewati seleksi Business Model Canvas (BMC), proposal, hingga semifinal daring, sebelum akhirnya tampil di babak final di UNES.

Reksa mengakui perjuangan penuh tantangan, terutama dalam riset dan pengembangan (R&D).
“Satu formulasi pupuk butuh waktu fermentasi sebulan. Belum lagi uji coba di lahan berbeda selama tiga bulan. Biayanya juga besar, sekali uji coba bisa habis Rp750 ribu. Tapi berkat dukungan tim dan stakeholder, kami bisa bertahan sampai sekarang,” paparnya.
Tantangan Terbesar
Aulia pun menambahkan bahwa tantangan terbesar ada pada bahan dasar pupuk yang berasal dari keong.
“Awalnya saya ragu karena basic saya akuntansi, sementara produk ini butuh proses teknis yang rumit. Tapi berkat tim yang solid dan kolaborasi dengan stakeholder, saya tetap semangat. Bisnis itu tidak bisa jalan sendiri, butuh jaringan dan kerja sama,” ujarnya.
Kemenangan ini menjadi pengalaman berharga sekaligus tidak terduga bagi mereka. “Rasanya bangga sekaligus tidak menyangka bisa juara 1. Semoga makin banyak inovator muda dari UMY yang ikut berkontribusi untuk Indonesia Emas 2045,” kata Reksa.
Belum ke Tahap Komersial
Meski masih dalam tahap pengembangan, pupuk organik cair dari hama padi ini sudah mulai didistribusikan terbatas melalui Dinas Pertanian Kabupaten Sleman dan kelompok tani mitra. Namun, produk ini belum masuk pasar secara luas karena masih menunggu proses legalitas.
“Sekarang baru distribusi ke masyarakat dan kelompok tani, belum ke tahap komersial,” pungkas Reksa. (*)