PanenTalks, Jakarta – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengingatkan penggunaan pestisida sintesis akan berdampak panjang pada kerusakan lingkungan.
“Dampak Revolusi Hijau pada era 1980-an, ketika penggunaan pestisida sintetis masif hingga disubsidi 80 persen,” kata Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Tanaman Perkebunan Badan Riset dan Inovasi Nasional, Prof. Agus Kardinan
Penyemprotan saat itu bukan lagi sekadar mengendalikan hama tapi seperti menyiram racun ke ladang. Saat itu panen berhasil namun memiliki dampak jangka panjang. Meliputi lingkungan rusak, hama resisten, dan residu beracun tertinggal di tanah, air, serta tanaman.
Dia mengatakan, peran pestisida nabati dalam mendukung pertanian organik. “Oleh sebab itu, mendorong pemanfaatan kekayaan hayati Indonesia,” kata dia mengutip laman brin.go.id, Selasa 23 September 2025.
Tanaman seperti tembakau, daun mimba, akar tuba, cengkeh, serai, hingga minyak atsiri seperti nilam dan jeruk purut terbukti menghasilkan senyawa aktif mampu mengendalikan hama secara ramah lingkungan.
Dia telah meneliti dan memformulasikan berbagai pestisida nabati lebih dari 20 tahun. Beberapa sudah paten dan bermanfaat di lapangan serta melakukan ekspor ke Jepang.
“Pestisida nabati bekerja dengan cara berbeda dari pestisida kimia. Alih-alih membunuh langsung, ia mengganggu siklus biologis hama, memperlambat pertumbuhan, menghambat metamorfosis, dan menurunkan populasi. Contoh nyata adalah selasih menghasilkan metil eugenol, atraktan alami efektif untuk perangkap lalat buah,” kata dia.
Dia menilai, pestisida nabati tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga memberi nilai tambah ekonomi.
Sementara itu, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Tanaman Perkebunan, Samsudin, menegaskan bahwa pengendalian hama dan penyakit dalam sistem organik memiliki tantangan tersendiri karena tidak menggunakan pestisida sintetis.
“Kecepatan kerja pengendali hayati relatif lambat, sementara potensi serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) tetap tinggi. Karena itu, strategi pencegahan dengan teknologi ramah lingkungan sangat dibutuhkan,” kata dia.
Beragam inovasi seperti biopestisida berbasis patogen serangga, atraktan alami, asap cair, hingga minyak nabati seperti mimba dan serai wangi. Selain itu, teknik budidaya seperti rotasi tanaman, tumpangsari dan sanitasi kebun terbukti mampu menekan populasi hama secara signifikan.
Biopestisida dan agen hayati, kata dia, seperti jamur patogen serangga, nematoda, hingga jamur antagonis merupakan bagian integral dari Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
Menurutnya, dengan penerapan inovasi tersebut, pertanian organik dapat menjadi lebih produktif sekaligus ramah lingkungan. “Ke depan, teknologi pengendalian hayati harus menjadi arus utama, bukan sekadar alternatif,” kata dia. (*)