Rabu, Oktober 29, 2025

Rawat Harmoni Jawa: Harapan Ngarso Dalem di Kongres Diaspora

Share

PanenTalks, Yogyakarta – Ratusan insan dari berbagai belahan dunia membanjiri Kagungan Dalem Sasana Hinggil Dwi Abad, Yogyakarta, pada Sabtu (14/6), dalam sebuah pertemuan yang lebih dari sekadar kongres biasa: Kongres Diaspora Jawa Internasional.

Ini adalah gelaran keenam yang rutin diadakan setiap dua tahun sekali sejak 2015, sebuah wujud nyata penghormatan dan ruang interaksi mendalam antara kerajaan dan komunitas diaspora Jawa yang tersebar luas, mulai dari Suriname, Belanda, hingga berbagai negara di Asia Tenggara.

Acara akbar ini bukanlah sekadar pertemuan budaya semata. Lebih dari itu, ia menjelma menjadi momentum spiritual dan emosional yang kuat, menyatukan kembali tali batin yang selama ini terentang antara tanah leluhur dan para keturunannya yang kini hidup di perantauan. Aura kehangatan dan rasa memiliki begitu terasa, seolah waktu dan jarak sirna dalam dekapan persaudaraan.

Dialog dengan Sultan Hamengkubuwono X di Kongres Diaspora Jawa Internasional. (dok:pemdadiy)

Puncak acara ditandai dengan kehadiran Sri Sultan Hamengku Buwono X yang secara langsung memimpin dialog budaya dalam forum yang penuh makna ini. Dengan tutur kata yang mendalam, Ngarso Dalem menyampaikan pesan penting tentang peran sejarah dan identitas dalam membentuk masa depan.

“Sejarah itu bukan hanya tentang masa lalu. Ia meninggalkan jejak yang bisa menempelkan identitas dan mengarahkan kita pada tujuan yang bermakna di masa kini,” tutur Sultan dengan penuh kebijaksanaan, menegaskan bahwa akar yang kuat adalah penuntun arah bagi generasi kini dan mendatang.

Dia menggarisbawahi bahwa kisah diaspora Jawa merupakan salah satu bab penting dalam sejarah peradaban nusantara. Ia mencontohkan migrasi besar-besaran masyarakat Jawa ke Suriname pada tahun 1890 sebagai bukti keberanian, daya tahan, dan semangat mempertahankan budaya dalam menghadapi tantangan hidup lintas benua.

Peserta Kongres Diaspora Jawa Internasional. (dok:pemdadiy)

“Mereka menyeberang benua, membangun kehidupan baru sebagai buruh kontrak, namun tetap menjaga warisan budaya dan bahkan menciptakan identitas baru hasil akulturasi,” ungkap Sultan dengan bangga.

Sri Sultan juga menyinggung gelombang migrasi ke Belanda pada tahun 1975 yang terjadi karena dinamika sosial-politik pascakolonial. Ia mengakui peran diaspora Jawa yang terus aktif menjaga nilai-nilai budaya Jawa, meski telah bermukim di luar negeri selama puluhan tahun.

“Di manapun mereka tinggal—baik di Malaysia, Singapura, maupun Eropa—para diaspora tetap memelihara seni, tradisi, dan falsafah Jawa seperti unggah-ungguh dan tata krama,” lanjutnya.

Ngarso Dalem juga mengapresiasi tema kongres tahun ini, Hamemayu Hayuning Bawono, sebagai panggilan jiwa untuk merawat harmoni semesta dalam kehidupan global yang semakin kompleks.

“Saya percaya, para diaspora tidak hanya kembali secara fisik ke tanah Jawa, tetapi juga menyentuh batin mereka sebagai orang Jawa,” ucapnya lirih namun mantap.

Menutup pidatonya, Sri Sultan mengibaratkan jaringan diaspora Jawa sebagai rumpun bambu yang saling menopang—kuat, lentur, dan penuh makna. Simbol ini mencerminkan kekokohan solidaritas antarwarga diaspora yang meski tersebar, tetap terhubung dalam satu akar budaya yang sama.

Sebelum dialog utama dimulai, Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Wironegoro membuka acara dengan penegasan pentingnya merawat akar budaya dalam perjalanan diaspora Jawa. Ia mengungkap bahwa selama hampir 15 tahun, pihaknya konsisten membersamai diaspora Jawa dalam upaya pelestarian nilai-nilai luhur.

“Setiap dua tahun mereka datang kembali ke tanah leluhurnya. Sudah menjadi kewajiban kami untuk menanamkan nilai-nilai baik, agar perjalanan ini tak sekadar wisata, tapi juga menghidupkan potensi budaya dan pariwisata di DIY,” tegasnya.

Pihaknya mengajak mereka ke akar rumputnya, balik ke oyoté. Di sana, mereka kami kenalkan lagi pada nilai-nilai seperti unggah-ungguh, subo-sito, dan toto kromo.

KPH Wironegoro berharap dialog ini memberi manfaat nyata dan memperkuat komitmen para diaspora sebagai ujung tombak pelestarian budaya Jawa di seluruh dunia. Ia percaya bahwa akar budaya yang kuat akan menumbuhkan jati diri yang kokoh dan relevan dalam segala zaman.

Pada kesempatan yang sama, Bupati Gunungkidul Endah Subekti Kuntariningsih menyampaikan apresiasi mendalam atas kunjungan diaspora ke wilayahnya. Ia merasa bangga karena produk UMKM Gunungkidul mendapat perhatian dan dukungan dari para peserta kongres.

“Kami merasa terhormat karena Gunungkidul menjadi bagian dari agenda Kongres Diaspora Jawa Internasional. Banyak produk kami diapresiasi dan dibeli langsung oleh diaspora. Ini bisa menjadi awal kerja sama untuk memasarkan produk lokal kami ke kancah internasional,” ujar Endah dengan penuh haru.

Bupati Endah juga menyampaikan permintaan maaf bila terdapat kekurangan dalam penyambutan, namun ia menegaskan bahwa Gunungkidul akan terus berbenah demi menyambut tamu-tamu kehormatan seperti para diaspora di masa depan.

Dengan penuh kehangatan, kongres ini berhasil membangun ruang refleksi, dialog lintas generasi, serta menjadi simbol kekuatan budaya Jawa yang tak lekang oleh waktu dan batas wilayah.

Kongres Diaspora Jawa Internasional kali ini diselenggarakan di dua daerah, yaitu Solo dan Yogyakarta pada 9-16 Juni 2025 dengan serangkaian acara. Di Solo, peserta kongres salah satunya berkunjung ke Keraton Surakarta dan mengikuti pelatihan jamu di Unit Pelaksana Fungsional Pelayanan Kesehatan Tradisional (UPF Yakestrad) Tawangmangu, Karanganyar. Sementara di Jogja, selain dialog bersama Sri Sultan ini, peserta kongres mengikuti kegiatan yang berpusat di Desa Wulenpari, Gunungkidul dan acara lain dengan para pelaku UMKM. (*)

Editor: Rahmat

Read more

Local News