Kamis, Oktober 16, 2025

Retno Marsudi Ajak Kerja Sama Global Hadapi Ancaman Krisis Air, Pangan, dan Energi

Share

PanenTalks, Yogyakarta – Dorongan internasional untuk mencapai target netral karbon semakin menguat, sejalan dengan komitmen Perjanjian Paris yang menargetkan emisi karbon nol bersih secara global pada tahun 2050 dan pemotongan emisi sebesar 45% pada 2030.

Menyikapi hal ini, Indonesia memperkuat kontribusinya dengan memperbarui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), yang mencantumkan peningkatan target pengurangan emisi menjadi 31,89% pada tahun 2030.

Retno Marsudi, Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Isu Air dan mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, menekankan bahwa isu pengurangan emisi karbon berkaitan erat dengan upaya mengatasi ancaman terhadap ketahanan air, pangan, dan energi.

“Semua tantangan tersebut saling terhubung erat. Karena ketiganya terhubung dengan tujuan pembangunan yang berkelanjutan dengan air, pangan dan energi menjadi elemen yang utama,” ujar Retno melalui sambungan video dalam konferensi internasional Astechnova 2025 yang digelar di Hotel Alana Yogyakarta, Rabu lalu.

Menurut Retno, menipisnya ketersediaan air bersih menjadi tantangan global karena kebutuhan yang terus meningkat, baik untuk industri maupun rumah tangga.

Ia menambahkan bahwa untuk menjawab tantangan ini dibutuhkan kebijakan yang saling terpadu. Terlebih, tekanan terhadap sumber daya alam meningkat seiring pertumbuhan populasi.

Dari sisi teknologi energi, Carolyn Scherer, M.S., perwakilan dari International Atomic Energy Agency (IAEA), menyampaikan bahwa reaktor nuklir generasi baru dinilai kompetitif secara jangka panjang.

“Jauh lebih lama dari 40 tahun reaktor pada generasi pertama,” ujarnya, menjelaskan bahwa reaktor modern mampu beroperasi selama 60 hingga 80 tahun.

Carolyn menambahkan, program International Project Innovative Nuclear Reactors and Fuel Cycles (IMPRO) yang digagas IAEA bertujuan agar tenaga nuklir dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan, dengan risiko proliferasi yang minimal.

Dari sisi akademisi, Guru Besar Teknik Nuklir dan Teknik Fisika FT UGM, Prof. Andang Widi Harto, mendorong pengembangan teknologi penyerap CO2 dari atmosfer untuk diubah menjadi produk bernilai ekonomi seperti urea dan hidrokarbon sintetik.

“Tanpa hidrogen, konsep menghasilkan CO2 tidak dapat diikuti untuk menjadi produk yang bernilai ekonomi,” kata Prof. Andang menegaskan.

Konferensi Astechnova 2025 sendiri melibatkan lebih dari 300 peserta dari delapan negara. Dekan Fakultas Teknik UGM, Prof. Selo, berharap kegiatan ini menjadi wadah kolaboratif untuk menjawab tantangan global secara bersama.

“Kami berharap melalui kegiatan ini dapat meningkatkan kolaborasi antara akademisi, industri, pemerintah dan mitra internasional dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan,” ujarnya. (*)

Read more

Local News