PanenTalks, Gianyar – Pameran “Roots” di ARMA Museum Ubud bukan sekadar suguhan visual, melainkan sebuah getaran jiwa yang menggugah. Ia membuka tirai, menyingkap Bali hari ini yang terpampang kontras dengan kenangan manis Walter Spies, pelukis, perupa, dan musikus Jerman yang pernah terpukau oleh pesona pulau ini.
Dibuka pada Sabtu, 24 Mei 2025, hingga 14 Juni 2025, pameran ini adalah perayaan seabad jejak Spies di Bali. Sebuah kolaborasi lintas batas dan generasi, menghadirkan Michael Schindhelm dari Swiss-Jerman bersama seniman Bali Made Bayak dan Gus Dark, dengan sentuhan kuratorial dari Chiara Turconi dan Yudha Bantono.
“Pameran ini adalah undangan untuk berbagi, tak hanya bagi Bali, tetapi juga seluruh dunia,” kata Agung Rai, Founder ARMA Museum Ubud, pada konferensi pers, Jumat, 23 Mei 2025.
Roots, Upaya Spies Ajar Masyarakat Bali
Ia mengenang bagaimana Spies mengajarkan masyarakat Bali untuk meresapi keindahan lanskap dan tradisi. Dia seperti mengukir Bali sebagai “living tradition” yang luar biasa.
Namun, kini ia menyaksikan kepedihan, “Walter Spies meletakkan budaya orang Bali yang memuliakan air dan lingkungan. Namun sekarang itu hilang. Kini lukisan dalam pameran ini mengunggahnya kembali.”
Agung Rai, yang sejak muda mengagumi sosok Spies, memberi apresiasi adanya pameran itu.
“Saya apresiasi berterima kasih dengan adanya pameran ini, Arma Ubud bekerjasama seniman-seniman muda untuk merumuskan, Bali ke depan,” ujarnya.
Agung Rai mempertanyakan, mengapa Bali seolah “kebablasan”? Dulu, filsafat Bali begitu menghayati tentang memuliakan air dan alam. Namun kini, situasi sudah berbeda?
Ia mengagumi keberanian Spies meninggalkan Eropa yang “sudah cukup maju dari sisi makan, intelektual” menuju “hutan serba gelap” Bali, demi sebuah pemahaman yang lebih dalam.
Made Bayak, dengan karya instalasi dan lukisannya yang turut menjadi bagian dari film dokumenter “ROOTS”, seolah mengajak Walter Spies dalam sebuah dialog batin.
“Karya kolaborasi ini, saya ajak Walter Spies ngobrol dengan Pak Agung Rai, teman-teman WALHI Bali bicara tentang lingkungan dan alam,” tuturnya.
Menyentuh Luka Sejarah Kelam
Ia bahkan tak gentar menyentuh luka sejarah yang jarang dijamah, seperti tragedi kemanusiaan 1965. Karena itu dia menghadirkan kembali kenangan tugu peringatan yang lenyap dan bekas penjara yang menyimpan cerita kelam.
“Penting saya ajak Walter Spies untuk melihat situasi hari ini,” tegasnya, seolah meminta Spies untuk menjadi saksi atas transformasi – atau deformasi – Bali.
Michael Schindhelm, melalui instalasi seni, karya grafis, dan cuplikan film dokumenter fiksinya, menghidupkan kembali sosok Walter Spies sebagai figur metaforis.
Spies hadir menelisik Bali pasca-kunjungan pertamanya. Dia kemudian membandingkannya dengan gambaran Bali yang ada saat ini.
Sementara itu, Made Bayak dan Gus Dark dengan karya kontemporer mereka, menjadi corong bagi perjuangan masyarakat Bali. Mereka mengangkat isu-isu genting. Di antaranya, krisis sumber air, sawah yang terancam, dan kegelisahan budaya di tengah arus modern.
Seratus tahun silam, Walter Spies menjejakkan kaki di Bali, dan pulau ini menjadi rumah hingga akhir hayatnya yang tragis pada 1942.
Schindhelm menuturkan Spies memiliki kedekatan dengan seniman-seniman besar di Jerman. Dia juga terlibat dalam film horor pertama dunia, “Nosferatu“. Meski demikian, dia nyaris dilupakan di Barat. Namun, di Bali, namanya melegenda. Gayanya yang realisme magis menjadi panutan, dan perannya dalam pengembangan tari Kecak tak terbantahkan.
“Ketika karya Walter Spies masuk ke pasar – seperti di sebuah lelang di Singapura – harganya sangat mengejutkan. Bagaimana tidak, harganya bisa mencapai tujuh digit,” papar Michael Schindhelm, menyoroti betapa berharganya warisan Spies di mata kolektor.
Ia menambahkan, Spies adalah anomali modernisme. Karya-karya sebelum dan sesudah kedatangannya di Bali seolah merupakan karya dari dua seniman berbeda. Ia pun menyoroti bagaimana Spies terlibat dalam proyek pariwisata awal Bali.
“Saat ini, Bali menjadi penerima manfaat sekaligus korban dari pariwisata massal global,” imbuhnya.
Schindhelm merenungi, “Ketika saya mulai meneliti Spies tentang Bali sekitar enam tahun lalu, saya menyadari akan membutuhkan bantuan seniman Bali untuk memahami dan menceritakan kisah tersebut.”
Dari sinilah terjalin ikatan dengan Agung Rai, Ketua Walter Spies Society, dan I Wayan Dibia, salah satu murid terakhir Limbak. Wayan Dibia pula yang menciptakan tari topeng tentang Walter Spies.
Bersama para seniman muda seperti Dewa Ayu Eka Putri, Tutangkas Hranmayena Putu, Made Bayak, dan Gus Dark, mereka menelusuri jejak Spies, mencari benang merah antara warisannya dan Bali saat ini.
Made Bayak dan Gus Dark, melalui karya-karya mereka, berteriak tentang pengkhianatan, ketahanan spiritual budaya di tengah konsumerisme global. Mereka juga menyoroti bentang alam yang terancam, dan tragedi 1965/66.
Made Bayak menegaskan, “Karya penuh kritik itu bukan untuk menghakimi, tetapi lebih pada akar yang merefleksikan melalui karya seni.”
Ini adalah sebuah panggilan untuk mengembalikan Bali pada rel yang sesungguhnya, menghadapi ancaman terhadap subak dan sumber air bersih yang kini tercemar dan menipis.
Pameran “Roots” adalah sebuah cermin, sebuah alarm, dan sebuah harapan bagi Bali. Akankah kita mendengarkan bisikan akarnya? (*)