Sabtu, September 27, 2025

Serangan Kera Ekor Panjang Rusak Puluhan Hektare Lahan Pertanian di DIY

Share

PanenTalks, Yogyakarta – Serangan kera ekor panjang kembali menjadi ancaman serius bagi sektor pertanian di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Satwa liar tersebut dilaporkan merusak berbagai jenis tanaman pangan di sejumlah kabupaten, dengan komoditas utama seperti jagung, kacang tanah, dan padi menjadi target utama mereka.

Sementara itu, cabai tampaknya masih aman dari serangan, diduga karena rasanya yang pedas membuat kera enggan mengonsumsinya.

Data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) DIY menunjukkan, serangan kera ekor panjang di wilayah Gunungkidul telah berdampak pada 2 hektare lahan jagung di Kapanewon Purwosari dan 17 hektare di Kapanewon Saptosari. Di Kabupaten Bantul, serangan terhadap lahan jagung juga tercatat seluas 2 hektare di Kapanewon Pundong.

Untuk tanaman kacang tanah, kerusakan terjadi di Kapanewon Dlingo, Bantul, dengan luas sekitar 6 hektare. Serangan juga tercatat di beberapa wilayah Gunungkidul, yaitu Purwosari (1 hektare), Wonosari (4 hektare), serta satu kapanewon lainnya yang terdampak seluas 1 hektare.

Lahan padi pun ikut terdampak, seperti yang terjadi di Kapanewon Piyungan, Bantul, dengan luas sekitar 1 hektare.

“Semua tanaman. Kecuali di Imogiri, cabai tidak mau dimakan, mungkin karena pedas. Tapi (tanaman) yang lain semuanya dimakan,” ujar Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DIY, Syam Arjayanti, Jumat (26/9/2025).

Menurut Syam, penyebab utama dari pergeseran satwa liar ini ke lahan pertanian adalah karena perubahan fungsi hutan. Hilangnya habitat alami membuat kera kehilangan sumber makanannya, sehingga turun ke area pertanian warga.

“Habitat mereka banyak beralih fungsi, tidak ada sumber pangan, sehingga turun merusak tanaman,” kata dia.

Syam menegaskan, upaya penanganan tidak bisa dilakukan dengan cara memburu atau membunuh kera, meskipun ada dorongan dari sebagian petani.

“Kera ekor panjang bukan satwa dilindungi, tapi disoroti internasional sehingga tidak boleh dibunuh,” ungkapnya.

“Menurut kami, perlu perbaikan habitat supaya sumber pangan mereka tercukupi dan tidak merusak lahan pertanian,” ucapnya menambahkan.

Terkait jumlah kerugian akibat serangan ini, Syam menyebutkan bahwa data telah tersedia, meski belum bisa disampaikan secara rinci saat ini. “Ada datanya, tapi saya tidak hafal. Data keseluruhan ada, nanti bisa kami share,” katanya.

Selain persoalan serangan satwa, sektor pertanian DIY juga tengah menghadapi tantangan lain dari perubahan iklim. Namun demikian, Syam menegaskan bahwa petani telah mendapatkan pembinaan dan pelatihan dari BMKG guna mengantisipasi dampak cuaca ekstrem.

“Sebenarnya kalau bicara musim ini, selain kemarau basah, petani memang sudah ada mitigasi. Kita bekerja sama dengan BMKG, ada semacam pelatihan dan arahan,” ujarnya. (*)

Read more

Local News