PanenTalks, Sleman – Pemerintahan Prabowo-Gibran telah genap berjalan selama satu tahun. Sejumlah lembaga survei mencatat tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka cukup tinggi, bahkan menembus angka 70 persen.
Meski demikian, sejumlah pengamat menilai capaian tersebut perlu ditelaah lebih dalam, khususnya dalam hal efektivitas lembaga kepresidenan.
Pakar Hukum Tata Negara dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gugun El Guyanie, mengapresiasi hasil survei tersebut, namun mengingatkan agar data tersebut tidak dimaknai secara dangkal.
“Kalau saya membaca hasil survei, semuanya sentimennya positif. Kepuasan publik terhadap kinerja Prabowo-Gibran rata-rata di atas 70 persen tetapi secara kuantitatif harus dilihat secara makro,” kata Gugun di Yogyakarta.
Menurut Gugun, yang menjadi sorotan dalam tahun pertama pemerintahan ini adalah peran Wakil Presiden yang dinilainya belum terlihat jelas. Dalam sistem presidensial, katanya, Wakil Presiden semestinya tidak hanya berfungsi sebagai simbol semata, melainkan turut terlibat aktif dalam pemerintahan.
“Saya belum melihat dimana peran wakil presiden. Jadi setahun pemerintah ini, memang tidak ada konflik antara Presiden dan Wakil Presiden tetapi sebaliknya kita juga tidak melihat ada kolaborasi yang positif, yang saling mendukung, yang membuat balancing lembaga kepresidenan,” ujarnya.
Ia juga mempertanyakan relevansi pemilihan pasangan calon dalam Pilpres apabila keberadaan Wakil Presiden hanya menjadi pelengkap tanpa kontribusi yang terukur. Fenomena ini, menurutnya, bukan hanya terjadi pada masa pemerintahan saat ini, melainkan telah berulang dalam rezim sebelumnya.
“Karena dalam konteks sistem presidensialisme harusnya memang wakil itu di konstitusi disebut pembantu presiden. Dalam konteks ini kontribusi wakil presiden perannya apa dalam konteks ini, karena tidak mungkin karena dia disebut dalam konstitusi tetapi hanya simbolik semata, itu harus kita diskusikan kedepan,” ucapnya.
Lebih jauh lagi, Gugun bahkan menyarankan perlunya meninjau ulang sistem pemilihan Wapres dalam satu paket dengan Presiden apabila peran tersebut terus menjadi pasif.
“Jangan-jangan kedepan ini kita tidak perlu wakil presiden atau wakil presiden ini tidak dipilih dalam satu pasangan karena kalau memang jadi pembantunya presiden, maka sebaiknya presiden dipilih melalui Pilpres setelah menang dipilih setelah itu. Itu bukan hanya kali ini tetapi sudah beberapa kali terjadi di eranya (pemerintahan) Jokowi, SBY juga begitu,” kata Gugun.
Ia menekankan pentingnya pembagian kerja yang jelas antara Presiden dan Wakil Presiden sebagai bagian dari sistem presidensial yang sehat. Mandat yang konkret kepada Wapres diperlukan agar posisi tersebut tidak sekadar menjadi formalitas.
“Kalau memang di konstitusi disebutkan wakil presiden menjadi pembantu presiden, maka sebenarnya itu presiden memberikan pembagian domain yang harus dikerjakan oleh wakil presiden, membantu presiden dalam konteks misalnya stabilitas ekonomi, dalam konteks kalau Gibran difokuskan ke IKN misalnya itu yang belum kelihatan,” ujarnya.
Hal ini menurutnya semakin kontras jika dibandingkan dengan masa kampanye, di mana pasangan calon tampil kompak sebagai satu tim dengan visi-misi yang sama.
“Maka ini menjadi PR menjadi sorotan bahwa lembaga kepresidenan ternyata tidak balance ya. Jadi ketika pemilu pilpres itu berpasangan, koalisinya mati-matian, tetapi setelah dilantik ternyata wakil hanya ‘ban serep’ saja,” katanya tegas.
Di akhir keterangannya, Gugun menilai bahwa momentum satu tahun pemerintahan ini dapat menjadi kesempatan untuk mengevaluasi dan memperkuat relasi kerja antara Presiden dan Wakil Presiden.
“Ini penting, kita ingin melihat dimana letak wakil presiden, posisi sebagai pembantunya presiden kok belum muncul, kalau di jalan tapi kan tidak ada masalah, iya tidak ada konflik, tetapi kita tidak melihat soliditas nya, tidak melihat kontribusi pentingnya di dalam setahun pemerintahan Prabowo-Gibran,” ujarnya. (*)

