PanenTalks, Jakarta – Produksi beras dalam negeri pada tahun 2025 ini mengalami surplus. Ini menjadi indikator keberhasilan program swasembada pangan yang menjadi prioritas utama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Data proyeksi semester pertama tahun ini bahkan mencatat surplus beras yang melampaui angka konsumsi. Ini bukti sukses kebijakan swasembada pangan.
Kepala Badan Pangan Nasional (NFA), Arief Prasetyo Adi, menuturkan capaian impresif ini dalam konferensi pers di Kantor NFA, Jakarta, Senin 5 Mei 2025. Berdasarkan neraca produksi dan konsumsi beras dari NFA, surplus beras hingga akhir Juni 2025 mencapai 3,33 juta ton.
“Badan Pangan Nasional secara berkala memperbarui neraca pangan pokok strategis kita. Untuk produksi versus konsumsi beras, sesuai perkiraan dari Januari hingga Juni nanti, kita surplus 3,33 juta ton,” kata Arief.
Lebih lanjut, ia mengatakan surplus ini mengalami lonjakan sebesar 128,08 persen atau bertambah 1,87 juta ton. Pada periode sama pada tahun 2024, surplus hanya sebesar 1,46 juta ton.
Surplus Produksi Beras
Arief menekankan bahwa data estimasi surplus produksi beras tersebut bersumber dari Kerangka Sampel Area (KSA) Badan Pusat Statistik (BPS). Rilis dari BPS menunjukkan produksi beras pada Januari-Juni 2025 berpotensi mencapai 18,76 juta ton. Sedangkan konsumsi pada periode yang sama sebesar 15,43 juta ton.
Sebagai perbandingan, pada periode Januari-Juni 2024, surplus produksi beras hanya mencapai 1,46 juta ton dengan total produksi 16,88 juta ton dan konsumsi 15,42 juta ton. Peningkatan produksi yang signifikan ini mendapat respon positif pemerintah dengan mengintensifkan penyerapan langsung dari petani.
“Kami sudah memproyeksikan produksi beras akan meningkat dibandingkan tahun lalu. Pemerintah pun sudah menetapkan harga gabah kering panen melalui surat keputusan Kepala Badan Pangan Nasional sebesar Rp6.500 per kg. Dengan demikian Bulog dapat membantu petani yang tengah bersemangat dalam berproduksi,” imbuh Arief.
Pengelolaan Surplus Beras
Lebih lanjut, Arief mengatakan strategi pengelolaan stok beras pemerintah (CBP). Pasalnya surplus beras butuh pengelolaan yang lebih baik. Dengan demikian masyarakat benar-benar merasakan manfaat dari swasembada pangan.
“Masa-masa saat ini adalah waktunya penyerapan produksi dalam negeri untuk stok CBP. Selanjutnya produksi akan bergerak turun, mulai pertengahan hingga akhir tahun. Saat itu, produksi biasanya akan kurang dari 2,5-2,6 juta ton. Nah, pada saat seperti itu, kita melepas stok,” kata dia lagi.
Per tanggal 4 Mei, Bulog telah mengelola total beras sebanyak 3,5 juta ton, yang berasal dari transfer stok akhir tahun 2024 sekitar 2 juta ton.
Sebelumnya sudah ada hasil penyerapan setara beras sekitar 1,9 juta ton. Stok ini untuk penyaluran CBP melalui program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) serta bantuan tanggap darurat.
“Tantangan hari ini adalah bagaimana cara mengatur ketersediaan dan bagaimana turnover penyaluran stok Bulog. Dulu tantangannya mencari stok karena kekeringan. Hari ini kita ada surplus dan bagaimana kita mengelolanya. Jadi, ini merupakan babak baru bagi CBP di Bulog,” kata Arief.
NFA juga memiliki berbagai program intervensi pemerintah, mulai dari SPHP, bantuan pangan pemerintah, hingga intervensi untuk masyarakat berpenghasilan rendah, yang menjadi mekanisme pelepasan stok CBP. Arief menyatakan stok CBP berada dalam kondisi yang kuat dan mencukupi sehingga swasembada pangan.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala NFA juga menyinggung pergerakan inflasi. Ia menilai bahwa tingkat inflasi masih dalam kendali, terutama pada komponen volatile food atau inflasi pangan setelah periode puncak Ramadan dan Idul Fitri.
Data BPS mencatat inflasi pangan secara tahunan pada Maret dan April 2025 masing-masing sebesar 0,37 persen dan 0,64 persen.
Angka ini lebih rendah karena pada periode yang sama tahun sebelumnya, inflasi pangan secara tahunan mencapai 10,33 persen pada Maret. Sedangkan pada April mencapai 9,63 persen. (*)