PanenTalks,Denpasar – Krisis sampah di Bali terus menjadi sorotan, dengan kritik tajam mengarah pada kelambanan pemerintah dalam membangun infrastruktur pengelolaan sampah yang modern.
Para pakar menilai, upaya-upaya lain akan sia-sia jika tidak didukung oleh sistem pengelolaan yang memadai dan terintegrasi. Hal ini dianggap sebagai fondasi tak terhindarkan untuk mewujudkan “Bali Bebas Sampah”.
Sorotan ini mengemuka dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh kanalbali.id, di mana Dekan FISIP Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas), Dr. Drs. Nyoman Subanda, M.Si., secara tegas meminta pemerintah untuk memperkuat perannya, khususnya dalam investasi infrastruktur.
“Pemerintah harus hadir tidak hanya melalui edukasi, tetapi juga dengan membangun infrastruktur pengelolaan yang modern, memberi insentif, menerapkan sanksi tegas, dan menjalin kemitraan,” tegas Subanda.
Ia menambahkan bahwa tanpa infrastruktur yang modern dan terintegrasi, upaya-upaya seperti pembatasan plastik atau pemilahan di tingkat sumber akan terbentur kendala di lapangan dan berakhir menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Senada, Ni Wayan Riawati dari Yayasan Bali Wastu Lestari (YBWL) juga menyiratkan hal serupa dengan menyoroti inkonsistensi pelaksanaan regulasi yang sudah ada.
“Meskipun regulasi sudah tersedia, pelaksanaan di lapangan masih belum berkelanjutan dan minim pengawasan,” ujarnya. Pernyataan ini secara tidak langsung menegaskan bahwa sistem yang ada saat ini, termasuk infrastruktur, belum mampu mendukung implementasi regulasi secara efektif.
Program Pemerintah Dinilai Kurang Berani dalam Investasi
Sebagai respons, Kepala UPTD Pengelolaan Sampah Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali, Dr. Ir. Ni Made Armadi, SP, M.Si., mengungkapkan bahwa Pemprov Bali menggalakkan Program Super Prioritas Mendesak (PSPM), yang berfokus pada pembatasan plastik sekali pakai dan pengelolaan sampah berbasis sumber.
Namun, menurut Subanda, langkah tersebut harus diimbangi dengan investasi besar pada infrastruktur modern. Ia berpendapat bahwa tanpa adanya Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) yang memadai dan teknologi daur ulang yang canggih, sampah yang sudah terpilah tetap akan berakhir menumpuk di TPA. Dengan demikian, kolaborasi multipihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, dianggap sebagai kunci sukses.
Para narasumber sepakat bahwa peran pemerintah sebagai fasilitator dan pembuat kebijakan yang berani menginvestasikan dana untuk infrastruktur modern adalah fondasi yang tak bisa dinegosiasikan. Jika tidak, mimpi “Bali Bebas Sampah” akan terus menjadi slogan tanpa realisasi nyata.
TPST 3R Seminyak Clean sebagai Model Solusi
Di tengah lambatnya respons pemerintah, model pengelolaan sampah mandiri yang sukses telah membuktikan efektivitasnya. Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) 3R Seminyak Clean di Kelurahan Seminyak, Kuta, menjadi contoh nyata. Sejak berdiri pada tahun 2003, TPST ini telah menjadi pionir di Bali, bahkan di Indonesia, yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat.
Ketua TPST 3R Seminyak Clean, I Komang Ruditha Hartawan, menjelaskan bahwa TPST ini berhasil mengolah tak kurang dari 30 ton sampah setiap hari. Dengan konsep pengelolaan dari sumbernya, sampah organik diubah menjadi pupuk kompos yang dijual untuk menutupi biaya operasional.
Keberhasilan TPST ini menunjukkan bahwa solusi pengelolaan sampah yang efektif dapat diterapkan. Namun, para pakar menekankan bahwa untuk menyelesaikan masalah sampah secara menyeluruh di seluruh Bali, inisiatif swadaya harus didukung dan disatukan dalam sebuah sistem yang terintegrasi dengan infrastruktur modern yang dibangun oleh pemerintah.
Tanpa langkah berani dari pemerintah untuk berinvestasi, Bali akan terus bergumul dengan masalah sampah yang tak berkesudahan. (*)