Sabtu, September 27, 2025

Tiga Dekade Penglipuran Konsisten dalam Pelestarian Lingkungan

Share

PanenTalks, Bangli– Dengan sorot mata penuh haru dan bangga, Desa Adat Penglipuran kembali menorehkan sejarah. Desa yang terletak di kaki Gunung Batur ini secara resmi menerima Penghargaan Kalpataru Lestari 2025 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.

Penghargaan bergengsi ini diserahkan langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup, Dr. Hanif Faisol Nurofiq, di tengah semaraknya puncak peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang dipusatkan di Pantai Kuta, Bali baru-baru ini.

Kalpataru Lestari bukanlah sembarang penghargaan. Ini adalah bentuk apresiasi tertinggi dari negara kepada individu atau komunitas yang telah terbukti menjaga konsistensi luar biasa dalam pelestarian lingkungan, bahkan setelah sebelumnya menerima Kalpataru.

Bagi Penglipuran, penghargaan ini adalah pengakuan atas perjalanan panjang. Tiga dekade silam, tepatnya pada tahun 1995, Desa Penglipuran pertama kali menerima Kalpataru dalam kategori Penyelamat Lingkungan. Kini, konsistensi mereka dalam memadukan pelestarian alam dengan harmoni sosial, spiritual, dan budaya, yang berakar pada filosofi Tri Hita Karana—keseimbangan antara manusia, lingkungan, dan Tuhan—kembali diakui.

Keberhasilan Penglipuran dalam pelestarian lingkungan bukanlah hasil dari intervensi eksternal, melainkan buah dari sistem adat yang telah mengakar kuat. Bagi masyarakat Penglipuran, alam adalah warisan leluhur yang harus dijaga.

Salah satu inisiatif paling menonjol adalah konservasi hutan bambu seluas 75 hektare. Hutan ini bukan hanya berfungsi sebagai penopang ekosistem, namun juga dianggap sakral.

Aturan adat yang ketat membatasi pemanfaatannya secara kolektif, memastikan kelestariannya sebagai penjaga kualitas tanah, cadangan air, dan penyerap karbon. Pengetahuan ekologis ini diwariskan secara turun-temurun, menjadikan pelestarian hutan bambu bagian tak terpisahkan dari narasi budaya dan praktik kolektif.

Selain itu, Desa Penglipuran juga dikenal dengan sistem pengelolaan sampah berbasis rumah tangga yang sangat disiplin. Warga secara rutin memilah sampah ke dalam 14 kategori, mulai dari organik hingga limbah berbahaya, dan mengelola semuanya di pusat pengelolaan milik desa.

Keberhasilan sistem ini tak lepas dari peran hukum adat (awig-awig) dan sanksi sosial yang memastikan partisipasi aktif seluruh warga. Awig-awig juga secara tegas melarang penebangan pohon liar, pencemaran sungai, dan perburuan satwa, dengan sanksi yang melampaui regulasi formal pemerintah.

Di kawasan permukiman inti, kebijakan zona bebas kendaraan bermotor diterapkan. Wisatawan diwajibkan berjalan kaki atau bersepeda, tidak hanya untuk mengurangi emisi, tetapi juga untuk menciptakan suasana desa yang tenang dan sehat.

Tata ruang desa pun mempertahankan arsitektur tradisional Bali dengan material alami, menegaskan hubungan harmonis antara budaya dan alam.

Prestasi Penglipuran telah bergema hingga ke kancah internasional. Pada tahun 2023, desa ini dinobatkan sebagai Best Tourism Village oleh United Nations World Tourism Organization (UNWTO), menjadikannya model global dalam pengembangan pariwisata berbasis pelestarian lingkungan dan budaya.

Namun, penghargaan ini tidak membuat Penglipuran berpuas diri. Desa terus mengembangkan program edukasi lingkungan, pelatihan pemuda, dan digitalisasi informasi, sebagai bagian dari komitmen berkelanjutan untuk menjadi inspirasi bagi desa-desa lain di Indonesia.
Suara dari Hati Para Pemimpin Desa

Dalam momen penganugerahan yang penuh haru, Kepala Desa Adat Penglipuran, I Wayan Buda, menegaskan bahwa penghargaan ini mencerminkan filosofi hidup masyarakat Bali yang menjunjung tinggi harmoni antara manusia dan alam. “Ini adalah penghargaan kolektif masyarakat Bali yang konsisten menjaga kearifan lokal sebagai benteng pelestarian lingkungan,” ujarnya dengan bangga.

Senada dengan itu, Wayan Sumiarsa, Kepala Pengelola Desa Wisata Penglipuran, menambahkan bahwa Kalpataru Lestari adalah bukti nyata bahwa desa wisata bisa berkembang tanpa merusak alam. “Penglipuran memilih mempertahankan nilai adat dan keberlanjutan daripada mengejar ekspansi. Keberlanjutan bukan sekadar slogan, tapi gaya hidup yang dijaga bersama oleh seluruh warga desa,” tegasnya.
Visi ke Depan: Laboratorium Hidup untuk Indonesia

Ke depan, Desa Penglipuran bertekad untuk menjadi pusat edukasi lingkungan berbasis budaya yang inklusif. Dengan kekayaan kearifan lokal yang telah terbukti efektif, desa ini ingin menjadi ruang belajar terbuka bagi pelajar, peneliti, hingga pembuat kebijakan. Model keseharian warga, seperti pengelolaan sampah dan pelestarian hutan bambu, akan dijadikan laboratorium hidup untuk pendidikan lingkungan.

Pemerintah desa juga aktif menjalin kolaborasi lintas sektor—dengan universitas, lembaga penelitian, komunitas pemuda, dan organisasi lingkungan. Visi jangka panjangnya adalah mereplikasi model desa berkelanjutan yang kontekstual dan bisa diterapkan di berbagai wilayah Indonesia. Dengan memperkuat jaringan kemitraan dan berbagi praktik terbaik, Desa Penglipuran ingin berkontribusi nyata dalam menghadapi perubahan iklim dan krisis ekologis melalui pendekatan yang berakar pada budaya. (*)

Read more

Local News