Senin, Agustus 18, 2025

Tunda Rilis Data Kemiskinan, Pakar UGM Soroti Transparansi BPS

Share

PanenTalks, Yogyakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data kemiskinan terbaru untuk periode Maret 2025. Hasilnya menunjukkan penurunan angka kemiskinan nasional menjadi 8,47 persen. Terendah dalam 20 tahun terakhir. Tak menyoroti capaian itu, pakar UGM justru mempertanyakan keterlambatan rilis data yang biasanya lebih awal.

Penundaan ini memunculkan tanda tanya di kalangan akademisi dan pengamat. Apalagi data kemiskinan sering kali menjadi isu sensitif dalam momen-momen politik seperti Pilkada. Apakah keterlambatan ini murni karena alasan teknis, atau ada muatan politis di baliknya?

Keterlambatan itu memang memiliki makna dua sisi. Pakar dari Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) FISIPOL UGM, Nurhadi, Ph.D., menyambut baik jika BPS tengah berupaya memastikan validitas data secara maksimal.

“Tetapi BPS harus menjaga transparansi terhadap publik. Kalaupun ada penundaan, harus ada komunikasi yang jelas. Metodologi, validitas, dan alasan teknis lain harus terbuka,” ujar Nurhadi, Kamis, 31 Juli 2025.

Perencanaan Kebijakan

Ia menegaskan keterlambatan itu membawa risiko serius bagi siklus perencanaan kebijakan. Ketika data tidak ada tepat waktu, proses penyusunan program perlindungan sosial yang sangat bergantung pada informasi kemiskinan menjadi terhambat.

“Ketika data mengalami penundaan, intervensi kebijakan bisa meleset karena mengacu pada data lama,” kata dia.

Lebih lanjut, Nurhadi mengingatkan bahwa penundaan tanpa penjelasan yang memadai bisa mengikis kepercayaan publik terhadap BPS. Terutama posisi BPS sebagai lembaga statistik yang seharusnya independen.

Menurut Nurhadi masyarakat sudah semakin peka di era literasi digital seperti sekarang ini.

“Di era literasi digital saat ini, publik semakin peka. Kalau tidak ada penjelasan dengan baik, justru bisa muncul asumsi bahwa ada penahanan data demi kepentingan tertentu,” ujar Nurhadi menambahkan.

Nurhadi pun menekankan pentingnya menjaga jarak BPS dari intervensi politik, terutama menjelang pemilu. Ia menyebutkan bahwa statistik adalah milik publik, bukan milik pemerintah.

Oleh karena itu, transparansi dalam penyajian dan ketepatan waktu rilis menjadi bagian dari akuntabilitas negara.

“Data statistik milik publik. Pemerintah hanya menerima mandat untuk mengelola dan merilis data menggunakan dana publik,” tuturnya

Selain isu tata kelola data, Nurhadi juga menyoroti batas garis kemiskinan yang digunakan Indonesia saat ini. Ia menyebut bahwa angka sekitar Rp600 ribu per bulan per orang terlalu rendah dan tidak mencerminkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat secara riil.

“Dengan standar sekitar Rp600 ribu per bulan per orang, banyak kelompok yang sebenarnya miskin secara riil tapi tidak terdata,” katanya.

Ia menambahkan bahwa data kemiskinan Indonesia saat ini belum mengacu pada standar internasional seperti yang ditetapkan Bank Dunia. Jika standar itu diadopsi, maka angka kemiskinan nasional bisa meningkat dua hingga tiga kali lipat.

Meski begitu, Nurhadi mengingatkan bahwa proses adopsi tidak bisa dipaksakan dan perlu dilakukan secara bertahap. “Kalau belum siap secara teknis dan politis, jangan dipaksakan. Tapi harus ada roadmap menuju ke sana,” sarannya.

Tak hanya itu, ia menegaskan pentingnya memantau keberlanjutan kehidupan masyarakat yang baru keluar dari kemiskinan, agar mereka tidak kembali jatuh ke kondisi rentan. Ia menyarankan agar pendekatan pemberdayaan ekonomi lebih diutamakan ketimbang sekadar distribusi bantuan. “Rilis data bukan semata tugas teknis tahunan, tapi hak publik yang memungkinkan warga menilai kinerja negara,” tegasnya.

Dalam rangka mewujudkan kebijakan pembangunan berbasis data (evidence-based policy), Nurhadi mengajak pemerintah dan BPS untuk memperkuat tata kelola statistik dan membangun komunikasi yang lebih baik dengan publik ke depan. (*)

Read more

Local News