Senin, Agustus 18, 2025

Gelombang Panas, Pakar UGM Ingatkan Bahaya Krisis Iklim

Share

PanenTalks, Yogyakarta – Fenomena gelombang panas kembali menunjukkan dampak mematikan. Bukan sekadar peristiwa musiman, gelombang panas kini menjadi bukti nyata krisis iklim telah mengancam kehidupan sehari-hari.

Dalam 10 hari terakhir, Eropa mencatatkan sekitar 2.300 kematian yang terjadi di 12 kota besar akibat cuaca ekstrem. Ini menunjukkan gelombang panas mengancam kehidupan.

Aktivitas manusia disebut-sebut sebagai penyebab utama lonjakan suhu global, yang kini rata-rata meningkat hingga 4°C. Para peneliti mencatat, ini memicu peningkatan intensitas, durasi, serta sebaran gelombang panas di berbagai wilayah dunia. Termasuk negara-negara yang sebelumnya tidak akrab dengan suhu ekstrem.

Pakar geografi lingkungan dari Fakultas Geografi UGM, Dr. Djaka Marwasta, S.Si., M.Si., menjelaskan bahwa fenomena tersebut memiliki keterkaitan dengan perubahan iklim.

“Kenaikan konsentrasi GRK mendorong peningkatan frekuensi, durasi, dan sebaran gelombang panas secara global,” kata Djaka, Rabu, 17 Juli 2025.

Menurutnya, kelompok lansia menjadi pihak yang paling rentan terhadap kondisi ini. Ia menyoroti situasi di Eropa yang memiliki jumlah lansia besar. Namun Djaka juga mengingatkan bahwa Indonesia tidak luput dari risiko serupa.

“Di Eropa, proporsi lansia sangat besar, sehingga dampaknya sangat terasa. Di Indonesia, jumlah populasi lansia sesungguhnya juga cukup banyak dan ini memerlukan perhatian khusus,” tuturnya.

Sebagai respons, Djaka menekankan pentingnya langkah mitigasi yang terfokus pada kelompok rentan. Salah satu pendekatan adalah evakuasi ke tempat tinggal yang lebih aman saat terjadi gelombang panas.

Selain itu, edukasi publik menjadi kunci dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat.

“Literasi mengenai fenomena tersebut dan perubahan iklim harus dilakukan secara masif melalui berbagai media agar dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat,” ujar Djaka.

Ia juga mengingatkan peran penting generasi muda dan pembuat kebijakan dalam menghadapi krisis ini.

“Kita memerlukan kebijakan yang tidak hanya reaktif, namun mampu secara struktural mengurangi dampak perubahan iklim,” katanya.

“Generasi muda harus mampu membangun pola pikir dan pola tindakan yang berorientasi pada keberlanjutan,” ujar Djaka.

Dengan gelombang panas sebagai gejala yang semakin sering muncul, panggilan untuk bertindak menjadi semakin mendesak.

Dari individu hingga pemerintah, semua pihak memiliki peran dalam menjawab tantangan krisis iklim yang kini semakin mengancam kehidupan manusia. (*)

Read more

Local News