PanenTalks, Sleman – Pemerintah belum optimal menjalankan strategi komunikasi krisis, khususnya dalam merespons isu-isu sensitif yang berdampak pada wilayah konservasi. Ini saat pemerintah merespons aktivitas tambang nikel di wilayah Raja Ampat yang menyebabkan kerusakan lingkungan di kawasan pulau kecil.
Raja Ampat sendiri merupakan sebagai salah satu kawasan konservasi terbesar di Indonesia. Lebih dari 97% wilayah di Raja Ampat masuk kategori kawasan lindung. Aktivitas tambang yang merusak ekosistem pada akhirnya bertentangan dengan prinsip pelestarian lingkungan dan mengancam hak-hak masyarakat lokal.
Drs. I Gusti Ngurah Putra, MA, pakar komunikasi strategis dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menilai respons pemerintah terhadap isu ini belum cukup transparan dan terstruktur. Ia menyampaikan pandangannya dalam Diskusi Komunikasi Masyarakat (Diskoma) #22 bertajuk “Komunikasi Krisis: Kasus Tambang Nikel Raja Ampat”.
“Aspek inilah yang dalam beberapa tahun terakhir masih menjadi masalah. Pasalnya, pemerintah tidak menyampaikan sejumlah kebijakan secara informatif dan terstruktur. Pada akhirnya ini menimbulkan asumsi dan menurunkan akuntabilitas pemerintah di mata publik,” kata Ngurah.
Tidak Konsisten
Lebih lanjut, Ngurah menilai komunikasi krisis pemerintah dalam kasus ini masih tidak konsisten. Ia menekankan pentingnya pendekatan komunikasi yang menyeluruh. Pasalnya Raja Ampat bukan hanya wilayah kaya sumber daya, tapi juga ikon pariwisata unggulan Indonesia.
“Kalau pemerintah tidak tegas, citra kita bisa runtuh. Komunikasi krisis bukan sekadar strategi publikasi, tapi soal arah politik pembangunan itu sendiri,” kata dia menegaskan.
Menurut Ngurah, sektor pariwisata selama ini belum cukup mendapat perhatian dalam penyusunan kebijakan komunikasi krisis nasional. Akibatnya, penanganan isu-isu seperti kerusakan lingkungan di destinasi wisata dilakukan secara reaktif dan tidak berkelanjutan.
“Situasi ini menjadikan komunikasi krisis sebagai pekerjaan yang gamang dan setengah hati,” ujar Ngurah.
Menanggapi hal tersebut, Apni Jaya Putra selaku Staf Khusus Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI bidang Komunikasi dan Media, menjelaskan bagaimana pihak kementerian merespons isu tambang di Raja Ampat dengan pendekatan berbasis data.
Menurut Apni, Kemenparekraf mendeteksi kasus tambang sebagai medium crisis melalui metode Crisis Detection Analysis. Ini mencakup sejumlah indikator seperti degradasi ekosistem, konflik perizinan, hingga tekanan dari masyarakat adat dan media internasional.
“Masalah ini bukan cuma tentang lingkungan. Ini tentang reputasi Indonesia sebagai tujuan wisata, tentang bagaimana dunia melihat kita. Apakah kita menjaga surga terakhir ini, atau justru mengorbankannya demi investasi jangka pendek,” ucap Apni.
Strategi komunikasi krisis Kemenparekraf, lanjutnya, dibangun di atas tiga prinsip utama: acknowledge, explain, dan act. Pendekatan ini menekankan pentingnya pengakuan terhadap krisis. Selain itu penjelasan yang jelas atas posisi pemerintah, serta tindakan nyata yang melibatkan publik.
“Penyampaian semua narasi harus dengan empati, konsistensi, dan berbasis data,” tuturnya. (*)