Minggu, Agustus 17, 2025

Kritik Simbolik Pengibaran Bendera One Piece

Share

PanenTalks, Yogyakarta – Fenomena pengibaran bendera One Piece berdampingan dengan bendera Merah Putih sesungguhnya merupakan kritik simbolik.

Bendera One Piece tiba-tiba menjadi trending. Tidak hanya di dunia maya, tetapi fenomena itu juga muncul di realita dengan pengibaran bendea di berbagai tempat.

Pengibaran bendera dari kisah fiktif itu menjadi perdebatan. Apalagi ini menjelang peringatan HUT ke-80 RI. Aksi itu menuai perdebatan dan pemerintah menganggap tindakan itu berpotensi melanggar hukum.

Menurut Ayom Mratita Purbandani, peneliti dari Center for Digital Society (CfDS) FISIPOL UGM, fenomena ini sesungguhnya bukan tindakan makar. Namun lebih tepat bila memahaminya sebagai bentuk perlawanan simbolik dan ekspresi kebebasan sipil.

Cara Kreatif Kritik Sosial

Ia menyebut penggunaan simbol budaya populer merupakan cara kreatif masyarakat dalam menyampaikan kritik sosial.

“Ini adalah ekspresi protes yang sifatnya simbolik. Idiom budaya populer digunakan sebagai media kritik. Ini mirip dengan simbol salam tiga jari di Thailand atau semangka yang digunakan sebagai simbol dukungan terhadap Palestina,” ujar Ayom di Yogyakarta, Sabtu, 16 Agustus 2025.

Menurut Ayom, bentuk perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini cenderung spontan, emosional, namun bisa menyebar cepat di media sosial. Ini berbeda dari aksi demonstrasi konvensional.

“Aksi seperti ini umumnya tidak bertahan lama dan tak terorganisir secara struktural. Tapi jika pemerintah meresponsnya dengan keras, maka pesan protesnya justru jadi makin kuat,” kata dia.

Ia menilai respons represif terhadap ekspresi semacam ini justru memperkuat pesan protes dan mempersempit ruang kebebasan sipil.

Menurutnya, simbol populer seperti One Piece efektif menjangkau lebih banyak kalangan, khususnya anak muda.

“Anak muda sekarang punya banyak cara untuk bersuara. Mereka menggunakan simbol yang familiar agar pesan diterima secara luas,” ucapnya.

Lebih lanjut, Ayom mengajak pemerintah untuk bersikap lebih terbuka dalam menyikapi fenomena simbolik seperti ini.

“Perlawanan simbolik seperti ini justru membuka ruang baru bagi praktik politik yang lebih imajinatif dan inklusif. Ketimbang bersikap reaktif, lebih baik pemerintah melihat sebagai bentuk kritik dan perlu mendengarnya,” kata Ayom melanjutkan.

Ia menegaskan bahwa walaupun aksi tersebut bernuansa politis, cara penyampaiannya sangat komunikatif dan menyentuh aspek kemanusiaan.

“Perlawanan ini tidak frontal, tapi justru efektif karena menyentuh sisi kemanusiaan dan imajinasi khalayak,” ucapnya.

Bukan Radikalisme

Sementara itu, Dr. Arie Sujito, sosiolog politik, menyatakan bahwa pengibaran bendera One Piece bukanlah bentuk radikalisme. Simbol itu membawa narasi perjuangan dan perjalanan panjang yang akrab dengan publik.

“Simbol-simbol itu melambangkan cerita perjuangan dan perjalanan panjang dalam mencapai sesuatu. Bukan sebuah hal baru yang muncul sebagai respon masyarakat terhadap dunia politik,” tuturnya.

Menurut Arie, fenomena ini lebih mencerminkan akumulasi ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah daripada tanda krisis politik atau ekonomi. Ia menekankan bahwa media sosial telah menjadi wadah efektif bagi publik untuk menyalurkan kegelisahannya.

“Melarang tidak akan efektif. Motor resonansi yang baik itu terbuka, artikulasinya cukup bagus dan ada pesan yang wajib diketahui. Secara simbolik dan substansial beginilah cara orang-orang mengingatkan bahwa ada isu penting,” katanya.

Arie juga menyoroti bahwa aksi ini berhasil menyuarakan isu substansial yang kerap tertutupi oleh informasi sepele di media sosial.

Dari sudut pandang budaya, Prof. Faruk, budayawan dari Universitas Gadjah Mada, menyebut bahwa tren merayakan kemerdekaan kini mengalami perubahan. Ia melihat bahwa simbolisasi merah putih yang dulu identik dengan gapura atau bambu runcing, kini hadir dalam bentuk yang lebih kreatif.

“Anda bisa melihat apakah ini protes politis atau kreativitas. Dari sisi kreatif, ini jelas strategi komunikasi yang unik dengan menyampaikan kritik melalui konteks tertentu,” ucapnya.

Faruk mengakui bahwa ada pertanyaan tentang keaslian gerakan ini, apakah organik atau ada mobilisasi oleh pihak tertentu. Namun, ia melihat kesinambungan dengan gerakan-gerakan sebelumnya seperti “Indonesia Gelap” atau “Darurat Konstitusi”.

Ia menegaskan bahwa aksi ini bukan bentuk radikalisme, melainkan bentuk kepedulian terhadap kondisi bangsa saat ini.

“Bahwa masyarakat bukan mengekspresikan gerakan radikal. Ini justru menyatakan kepedulian terhadap kondisi negara yang memprihatinkan saat ini,” katanya. (*)

Read more

Local News